Writer Librarian

Pustakawan dan Pelaku Usaha

Writer Librarian

Menyingkat Alamat Website dengan URL Shortener

Gerakan Literasi Mencerdaskan Negeri

Dari Jogja untuk Nusantara. Kitab Sakti bagi setiap penggerak literasi di Indonesia

Buku Pustakawan dan Media Massa: dari Interaksi ke Dokumentasi

Buku ini berisi kumpulan opini yang sudah diterbitkan di media massa (surat kabar). Berisi tentang Budaya Baca, Perpustakaan, Pendidikan, Sosial, dan Teknologi.

Bedah Buku Perpustakaan

Bedah Buku Capacity Building Perpustakaan karya Muhsin Kalida, 12 Desember 2015

Thursday, September 21, 2017

HIJRAH DENGAN MEMBACA

HIJRAH DENGAN MEMBACA

Oleh: Moh. Mursyid


Saat ini umat Islam di seluruh dunia tengah memasuki Tahun Baru Hijriyah 1439 H. Peristiwa pergantian Tahun Hijriyah menjadi renungan bersama untuk memperbaiki kondisi bangsa. Peristiwa Hijrah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah pada 622 M menjadi titik awal kebangkitan umat Islam dalam menorehkan sejarah peradaban dunia dan karenanya diperingati sebagai pergantian tahun dalam Islam.

Dalam arti sederhana, hijrah tidak sekadar dimaknai berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, tetapi juga bentuk perubahan ke arah yang lebih baik dari kondisi sebelumnya. Ketika yang terjadi sebaliknya, kemunduruan, kejumudan, dan ketertinggalan, maka pertanda kehancuran sangat jelas di depan kita. Di sinilah kita akan termasuk golongan yang merugi dan gagal memaknai hijrah yang sebenarnya.

Spirit perubahan yang terkandung dalam hijrah dapat dijadikan sebagai modal penting untuk memperbaiki kondisi bangsa dalam segala lini, tidak terkecuali dalam hal minat baca. Sebagai bangsa besar dengan jumlah penduduk Islam yang terbanyak, seharusnya Indonesia mampu tampil sebagai negara yang memiliki tingkat minat baca tinggi. Hal ini dikarenakan umat Islam memiliki risalah keagamaan untuk membaca dan menulis sebagaimana dalam surat _al-‘Alaq_ ayat 1-5. Sayangnya, umat Islam di Indonesia belum sepenuhnya mampu memaknai dan mengamalkan perintah ini dengan baik.

Di atas kertas, Indonesia selalu dikatakan sebagai negara yang memiliki minat baca rendah. Misalnya data dari _Most Littered Nation In the World_ yang dilakukan oleh _Central Connecticut State Univesity_ pada Maret 2016 lalu menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Dari tahun ke tahun belum ada perubahan signifikan terhadap budaya baca masyarakat Indonesia. Di tengah kondisi seperti inilah, spirit hijrah memiliki arti penting untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang maju dengan memegang teguh budaya baca.

*Gagasan*

Dalam sejarah umat Islam, Nabi Muhammad SAW adalah tokoh revolusioner sekaligus pelopor utama gerakan literasi. Di saat kemenangan umat Isam dalam perang Badr, Nabi Muhammad memiliki kebijakan untuk membebaskan seluruh tawanan perang dengan syarat setiap satu tawanan perang harus mengajari 10 umat muslim membaca dan menulis. Atas kebijakan ini para sahabat dan umat Islam mulai mengenal budaya baca tulis hingga akhirnya muncul nama-nama seperti Zaid bin Tsabit yang terkenal sebagai sekretaris wahyu. Dari sinilah peradaban literasi umat Islam mulai dibangun dan terus berkembang.

Islam adalah agama yang sangat menghormati ilmu dan pengetahuan. Sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Mujadilah ayat 11 bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Kecintaan terhadap ilmu pengetahuan ini pula yang ditunjukkan oleh Bani Abbasyiyah di masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid. Pemimpin pemerintahan di waktu itu memiliki komitmen untuk menjadikan perpustakaan Baitul Hikmah sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Gerakan penterjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab dan kegiatan kajian ilmiah menjadikan ilmu pengetahuan sangat berkembang pesat di era itu.

Bertolak dari peristiwa sejarah tersebut dapat dipahami bahwa untuk menjadikan sebuah masyarakat dan bangsa maju, dibutuhkan terobosoan yang revolusioner. Dalam konteks bangsa ini, ada beberapa tawaran gagasan misalnya dengan menjadikan pemuda sebagai aktor penggerak literasi di lapisan masyarakat akar rumput, terutama di pelbagai pelosok daerah di Nusantara. Hal ini dapat diimplementasikan melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) maupun kegiatan pengabdian lain yang berbasis literasi. Sebagai agen perubahan, mahasiswa yang notabene para generasi penerus harus terus didorong dan didukung untuk turun ke lapisan masyarakat menyemarakkan minat baca.

Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong pelbagai kegiatan penelitian, penerjemahan buku-buku asing, serta penulisan cerita-cerita rakyat Indonesia secara masif. Buku-buku jenis tersebut tidak boleh diperjualbelikan, melainkan untuk disumbangkan dan didistribusikan ke pelbagai pelosok nusantara sehingga hal tersebut dapat membantu percepatan pembangunan manusia yang lebih berkualitas.

Akhirnya, darurat minat baca bangsa ini menjadi tanggung jawab bersama. Kita tidak bisa berpangku tangan kepada satu pihak saja. Semangat hijrah di tahun baru Hijriyah 1439 H ini menjadi bekal penting untuk kembali membahu, merapatkan barisan, sekaligus berlomba-lomba dalam memperbaiki kondisi minat baca masyarakat Indonesia.

Yogyakarta, 21 September/ 1 Muharram 1439 H

Wednesday, September 20, 2017

SHARING DI PENUTUP TAHUN HIJRIYYAH

Penghujung tahun Hijriyah 1438 H ini diberi kesempatan untuk berbagi dan sharing pengalaman dihadapan 70 Pengelola Perpustakaan Instansi pemerintah di setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) se Kota Yogyakarta.
Berduet dengan senior sekaligus guru saya, Bapak Lasa Hs, kami diminta menyampaikan materi tentang "Efektiftas Manajemen Pengelola Perpustakaan Khusus di Lingkungan Organisasi Perangkat Daerah Kota Yogyakarta".

Acara yang diselenggarakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Yogyakarta ini memiliki peran penting untuk membangun perpustakaan berdaya saing di lingkungan pemerintah kota Yogyakarta.
 

Meski pesertanya lebih 'senior', namun semangatnya untuk terus belajar patut diacungi jempol. Semoga apa yang disampaikan pada hari ini bermanfaat. Dan juga, semoga di tahun depan bisa berbagi lebih banyak lagi. Dan kita semua, semoga termasuk orang-orang yang beruntung (tidak merugi). Amin.

_______________
Rabu, 20 September 2017, Penghujung Bulan Dzulhijjah di komplek Balaikota.







Wednesday, November 9, 2016

Ketemu Kepala Perpustakaan Nasional

13 Oktober 2016. Sebuah rejeki yang tak dinyana-nyana. Rejeki bukan berupa materi, tapi relasi dan silaturahmi.

Ya, tepat sehari setelah saya berulang tahun, yaitu pada 12 Oktober 2016, saya berkesempatan bertemu dengan beberapa tokoh kepustakawanan di Indonesia dalam acara Semiloka Kepustakawanan Indonesia 2016 yang diadakan oleh Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI).

Acara yang berlokasi di Perpustakaan UGM Yogyakarta itu dihadiri oleh banyak pihak, salah satunya adalah Kepala Perpustakaan Nasional, Bapak Muh Syarif Bando yang turut menyampaikan materi dalam acara tersebut.

Ada banyak sekali materi yang disampaikan, mulai dari communication skill, writing skill, information literacy, dan lainnya yang terkait isu kepustakawanan terkini.

Usai menyampaikan materi, saya menyempatkan ketemu dengan Kepala Perpustakaan Nasional dan berniat memberikan buah karya sederhana saya yang berjudul "Pustakawan dan Media Massa: Dari Interaksi ke Dokumentasi" dan juga tulisan saya yang dimuat di surat kabar Harian Bernas berjudul "Tantangan Gerakan Membaca" (13/10/2016).

Sepucuk harapan, semoga ide dan gagasan dalam buku & surat kabar tersebut dapat diterima dan membawa manfaat. Semoga.


Tantangan Gerakan Membaca

Di tengah kondisi budaya baca yang masih lemah, ketidakberpihakan oknum pemerintah terhadap gerakan membaca justru ditunjukkan di beberapa daerah. Belum lama ini misalnya, Lapak Baca Asmanadia digusur oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) saat menjajakan buku di alun-alun Kabupaten Cianjur. Kejadian serupa juga pernah dialami oleh Komunitas Perpustakaan Jalanan Kota Bandung yang dibubarkan oleh TNI beberapa waktu lalu. Ironis.
            Sejalan dengan kejadian tersebut, dalam Undang- Undang Dasar (UUD) Pasal 28F disebutkan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
            Jika merujuk pada UUD Pasal 28F, maka apa yang dilakukan oleh oknum pemerintah tersebut patut disayangkan. Pasalnya, pemerintah yang seharusnya melindungi keberadaan mereka, justru membubarkannya. Dalam hal ini, perpustakaan maupun lapak baca menjadi saluran bagi masyarakat dalam menyebarkan informasi dan pengetahuan melalui kegiatan membaca.
Harus disadari bersama bahwa mengenalkan budaya baca di masyarakat merupakan salah satu cara solutif untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang berkemajuan. Membaca menjadi bagian penting dari serangkaian proses pendidikan yang menjadi hak setiap warga negara.
Minim Perpustakaan
Hasil survei dari UNESCO menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia baru 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari seribu masyarakat yang memiliki budaya baca. Hasil ini juga didukung dari berbagai hasil survei yang menempatkan Indonesia pada posisi terendah dalam minat baca.
Disadari atau tidak, rendahnya budaya baca di negeri ini merupakan salah satu cerminan lemahnya pemerintah dalam mengimplementasikan amanat UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan. Dalam Pasal 50 misalnya, menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi dan mendorong pembudayaan kegemaran membaca dengan menyediakan bahan bacaan bermutu, murah, dan terjangkau serta menyediakan sarana dan prasarana perpustakaan yang mudah diakses.
Namun fakta di lapangan berbicara sebaliknya. Harga buku saat ini semakin melambung naik sehingga tidak semua kalangan dapat menjangkaunya. Tidak aneh jika kemudian muncul anggapan lebih baik membeli beras ketimbang harus membeli buku. Dari sini nampak jelas betapa buku belum menjadi kebutuhan utama masyarakat.
Sementara itu, data dari Perpustakaan Nasional (Perpusnas) tahun 2016 menyebutkan bahwa jumlah perpustakaan umum hanya ada 24.504 unit. Jumlah tersebut nyatanya belum mampu menjangkau seluruh wilayah di Indonesia, terutama di wilayah pedalaman. Buku dan perpustakaan menjadi sesuatu yang sangat istimewa yang tidak setiap saat bisa didapatkan.
Peran Masyarakat
Dalam kondisi seperti inilah peran serta masyarakat dalam upaya menumbuhkan budaya baca patut diapresiasi. Lapak Baca Asmanadia dan Perpustakaan Jalanan Kota Bandung adalah sekian dari ratusan lebih gerakan yang bersifat buttom up dalam menumbuhkan budaya baca di tengah masyarakat.
Di negeri yang berpenduduk lebih dari 255 juta jiwa, kesadaran dalam membentuk budaya baca masih tergolong rendah. Kepedulian membangun budaya ini justru muncul bukan dari kalangan orang kaya, melainkan mereka dari kalangan orang biasa. Mulai dari penjual jamu, Ibu rumah tangga, karyawan toko, guru, mahasiswa, dan lainnya yang memiliki kesadaran akan pentingnya membaca.
Berawal dari kepedulian masyarakat inilah yang kemudian muncul beragam fasilitas baca di berbagai tempat, mulai dari stasiun, terminal, masjid, alun-alun kota, pasar, mall, dan fasilitas umum lainnya. Tempat-tempat tersebut menjadi lokasi yang strategis karena sering dijadikan tempat berkumpulnya masyarakat.
Kiranya keberadaan mereka ini bisa menjadi cermin bagi pemerintah untuk terus berbenah memperbaiki kondisi budaya baca bangsa. Bukan sebaliknya, mencegah bahkan sampai dengan membubarkannya. Hal ini sebagaimana dalam UU Nomor 43 Tahun 2007 Pasal 49 bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mendorong tumbuhnya taman bacaan dan rumah baca untuk menunjang pembudayaan kegemaran membaca.
Dari sini dapat dipahami bahwa budaya baca tidak bisa dibangun dari satu arah. Semua harus saling bersinergi antar lapisan masyarakat dan pemerintah. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan hendaknya memberikan dukungan penuh yang pro rakyat, salah satunya memberikan jaminan keamanan kepada masyarakat untuk menyelenggarakan gerakan baca di berbagai fasilitas umum yang rawan dari aksi kekerasan.
Peran serta masyarakat juga sangat dibutuhkan. Gerakan membaca di ruang publik harus terus didukung keberadaannya dengan berbagai cara. Salah satu cara yang paling mudah dilakukan adalah dengan mendonasikan buku-buku bacaan berkualitas ke perpustakaan maupun taman bacaan di ruang publik sebagai wujud kepedulian terhadap budaya baca. Buku-buku tersebut nantinya akan dimanfaatkan kembali  untuk masyarakat.
Akhirnya, melalui gerakan membaca di ruang publik ini diharapkan mampu menumbuhkan masyarakat yang berpengetahuan, serta mempunyai kepedulian sosial tinggi terhadap kemajuan bangsa. Semoga!.[]

Tuesday, April 19, 2016

Perpustakaan untuk (Wakil) Rakyat

Oleh: Moh. Mursyid
Tulisan ini dimuat di Koran Madura, 18/04/2016
Rencana pembangunan perpustakaan terbesar se-Asia Tenggara oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengundang perhatian publik. Bukan saja karena biayanya yang superfantastis, yaitu 570 miliar rupiah, tetapi juga relevansinya terhadap kinerja para wakil rakyat itu sendiri. Antara kebutuhan dan pemborosan, antara maslahat dan muslihat.
Rencana pembangunan gedung ini bukanlah untuk yang pertama kalinya. Sebelumnya, pada tahun 2010 DPR telah mengajukan pembangunan gedung baru dengan nilai lebih dari satu triliun rupiah. Namun hal tersebut mendapat penolakan secara masif. Seakan tidak patah arang, DPR pun kembali menggulirkan rencana pembangunan gedung baru berkedok intelektual dengan membangun perpustakaan terbesar se-Asia Tenggara yang sekaligus menjadi ruang kerja bagi anggota DPR dan para tenaga ahli.
Tidak dapat dimungkiri bahwa keberadaan perpustakaan memang sangat penting, terlebih untuk para anggota DPR. Perpustakaan sebagai sumber informasi dan pengetahuan dapat memberikan dampak positif bagi kinerja anggota dewan. Dengan perpustakaan, anggota dewan dapat meningkatkan kualitas dirinya. Sebagai amsal, anggota dewan dapat menggunakan data dan informasi yang ada di perpustakaan sebagai sumber sekaligus dasar dalam pengambilan keputusan agar lebih tepat, relevan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Meski demikian, rencana pembangunan gedung perpustakaan harus dikaji ulang. Rencana pembangunan perpustakaan merupakan ide yang sangat mulia. Namun, dengan dana sebesar itu kiranya akan lebih baik jika dialokasikan untuk program yang prorakyat, misalnya pengentasan kemiskinan. Mengingat data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada bulan Maret 2015 jumlah penduduk miskin di Indonesia naik mencapai angka 28,59 juta orang (11,22 persen) dari sebelumnya 27,73 juta orang (10,96 persen). Ironis.
Optimalisasi Perpustakaan Jika melihat kondisi saat ini, DPR sudah memiliki gedung perpustakaan yang dibangun di Gedung Nusantara II. Perpustakaan tersebut memiliki koleksi sekitar 105.381 eksemplar. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa perpustakaan tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal. Kunjungan dari anggota dewan setiap harinya pun minim.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan bahwa perpustakaan yang dimiliki DPR saat ini masih kelas Rukun Tetangga (RT). Tidak hanya itu, Fahri Hamzah juga mengingatkan bahwa pembangunan perpustakaan tersebut termasuk dalam tujuh proyek pembangunan yang diwacanakan DPR. Apa yang dikatakan Wakil Ketua DPR patut disayangkan.
Perlu disadari bahwa perpustakaan era sekarang ini bukan sekadar bangunan statis belaka. Seorang pakar dan tokoh perpustakaan kelahiran India, S.R Ranganathan (1892-1972) mengatakan, “Library is a growing organism”. Perpustakaan adalah sebuah organisme (benda hidup) yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan manusia.
Selain itu, pembangunan gedung baru perpustakaan DPR idealnya dibarengi dengan peningkatan budaya baca di kalangan DPR itu sendiri. Jika perpustakaan yang sudah ada saja tidak dimanfaatkan dengan maksimal, maka gedung baru perpustakaan termegah se-Asia Tenggara tersebut hanya akan menjadi gedung mati tanpa manfaat. Kemegahan tanpa kebermanfaat adalah kesia-sian belaka.
Di era informasi digital seperti sekarang ini, data dan informasi sudah tidak hanya bisa didapatkan secara fisik (tercetak) tetapi juga dalam bentuk elektronik. Pemanfaatan gadget sudah sangat mendukung seseorang untuk mendapatkan informasi dalam jangka waktu yang cepat. Perkembangan teknologi memungkinkan seseorang membaca buku melalui versi elektronik (e-book).
Pendit (2016) mengatakan bahwa setelah informasi dapat dikemas lebih ringkas melalui teknologi digital, dan layanan perpustakaan dapat diperluas via Internet, ukuran fisik dan kemegahan bangunan fisik ini tinggallah menjadi aspek simbolik dari perpustakaan. Kuantitas dan kualitas layanan informasi perpustakaan di zaman kini tak lagi langsung dikaitkan dengan besar-kecilnya gedung, melainkan dengan ekstensif-tidaknya layanan informasi lewat Internet.
Dalam kondisi ini, rencana pembangunan gedung baru perpustakaan DPR agaknya lebih tepat jika dialihkan untuk optimalisasi perpustakaan DPR yang sudah ada sebelumnya. Tidak perlu membangun gedung baru, melainkan cukup memaksimalkan apa yang sudah ada. Konsep perpustakaan digital(digital library) maupun perpustakaan mobile (M-Library) bisa menjadi salah satu alternatif pengembangan perpustakaan DPR. Dengan adanya perpustakaan digital, anggota dewan dapat mengakses segala informasi yang ada di perpustakaan dengan bantuan teknologi tanpa harus datang langsung. Tidak hanya anggota dewan yang bisa mengakses perpustakaan digital tersebut, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia di manapun dan kapanpun.
Akhirnya, masyarakat Indonesia semua percaya bahwa orang-orang yang menduduki posisi sebagai anggota dewan bukanlah orang bodoh. Mereka adalah orang pilihan yang mumpuni dan berpendidikan tinggi yang sadar bahwa intelektual bangsa tidak bisa dibangun hanya dengan dana, melainkan dengan karya. [*]

Monday, April 18, 2016

Resensi Buku Writer Librarian

-Writer Librarian-
Salah satu cara untuk menjadi visible librarian adalah dengan menulis. Pustakawan tanpa menulis itu ibarat lilin. Orang akan mendapatkan manfaatnya ketika dirinya ada dan masih hidup. Tapi kalau sudah mati, keberadaanya tak lagi berguna. Tak ada pemikiran yang ditinggalkan. Itu artinya, tidak ada yang diwariskan.
Pada akhirnya, siapa lagi yang akan menyuarakan berbagai hal kemajuan di dalam ilmu perpustakaan kalau bukan pustakawan itu sendiri??.
Salam L (Literasi)